Ulama Tidak Boleh Sakit?


NGAJIKUY.ID - Di tengah masyarakat umum, ulama dikenal sebagai orang yang memiliki kapasitas keilmuan agama Islam yang mumpuni. Khusus dalam kultur masyarakat Aceh, ulama digelar dengan sebutan Abon, Abu, Waled, Ayah, Abi Abiya dan semacamnya. Gelar-gelar ini dipakai untuk ulama laki-laki, adapun bagi ulama wanita biasanya masyarakat Aceh menyebut Ummi.

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Aceh digemparkan oleh satu berita yang menyebutkan bahwa salah seorang ulama Aceh positif covid-19. Berita tersebut pertama kali ditayangkan oleh Serambi Indonesia edisi daring (dalam jaringan) pada Rabu 22 Juli 2020 pukul 10:04 WIB. Kemudian disusul oleh puluhan media massa lainnya yang ikut mewartakan lalu tidak lama langsung menyebar ke akun-akun pribadi media sosial.

Kondisi ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya di era teknologi kita menyampaikan sebuah berita. Dengan adanya jaringan internet yang tersambung melalui komputer, gadget atau media yang sejenisnya, suatu berita bisa tersebar dalam waktu yang relatif singkat. Begitulah yang kita rasakan ketika menerima atau membagi berita sekarang ini. 

Di balik membagi berita masing-masing orang memiliki tujuan yang berbeda-beda. Apabila kita perhatikan secara umum, ada dua macam tujuan yang ingin dicapai dalam membagi berita, pertama materi dan kedua eksistensi. Tujuan pertama berlaku bagi redaksi media massa. Mereka  memandang berita sebagai bisnis. Dalam arti setiap berita adalah uang, semakin berita itu ramai dikonsumsi publik, maka semakin banyak uang yang didapat.

Tujuan kedua adalah eksistensi. Tujuan ini berlaku bagi mereka yang tidak memperoleh apa-apa dari sebuah berita, melainkan hanya membagikannya bisa jadi agar terlihat update dalam lingkungan sosialnya atau hanya ingin diketahui bahwa dirinya juga tau isu yang sedang diberitakan tersebut.

Varian Komentar

Berita tentang sakitnya ulama tersebar setelah beberapa saat di-publish. Desas desus berbagai komentar bertebaran di media sosial menyikapi isu tersebut. Sebagian kalangan menyikapi positif dengan mendo’akan kesembuhan bagi sang ulama, tetapi sebagian lain justru sebaliknya, mereka malah menghujat dengan memakai bahasa yang kotor. Dalam hal ini penulis tidak ingin menyebut/mengutip bentuk hujatan-hujatan itu karena dirasa tidak perlu dan apalagi tidak enak didengar. Hanya saja secara subtansi kalangan ini mempermasalahkan sakit yang menimpa sang ulama. Seakan-akan paham mereka seorang ulama tidak boleh sakit dan jika sakit maka bukan ulama atau dipertanyakan kebenarannya sebagai ulama.

Tentu saja paham itu jelas keliru. Karna setidaknya ada tiga alasan kenapa sakitnya ulama dipandang sebagai hal yang wajar. Pertama sebuah kenyataan bahwa sakit itu sifatnya manusiawi yang artinya bisa menimpa semua orang. Kedua sakit tidak ada kaitan dengan pangkat spiritual dan yang ketiga sakit itu bukan aib yang bisa merendahkan.

Sakit sebagai sifat manusiawi sangat jelas dan tidak perlu diketengahkan lebih lanjut. Adapun sakit tidak menyangkut dengan pangkat spiritual dapat dibuktikan secara historis yang nyata bahwa sakit juga diderita oleh nabi dan rasul. Kita tentu pernah mendengar kisah Nabi Ayyub as yang menderita sakit sampai lumpuh seluruh badannya kecuali lidah dan hati. Kita juga pernah mendengar bahwa manusia terbaik yaitu Nabi Muhammad Saw juga pernah merasakan sakit dalam hidupnya. Maka apabila manusia terbaik (khair khalq) bisa sakit, maka manusia di bawah derajat mereka seperti wali dan ulama tentu bisa mendapat kemungkinan yang lebih besar bisa terjadi.

Selanjutnya, sakit bukan aib. Tidak ada satu keterangan pun dalam Islam yang menyebutkan bahwa sakit adalah aib. Justru Islam melihat sakit sebagi satu hal yang terpuji. Islam melihat sakit seorang muslim adalah sebab diangkat derajatnya dan dihapus segala kesalahannya (dosa). Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri ataupun yang semisalnya, melainkan dengannya Allah Swt mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR. Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga bersabda, "Janganlah engkau mengecam penyakit demam, karena penyakit itu bisa menghapuskan dosa-dosa manusia, seperti orang pandai besi yang melakukan pembakaran untuk menghilangkan noda pada besi. (HR. Muslim)."

Sebab Menghujat

Satu pepatah dalam bahasa Arab berbunyi “al-Tha’nu la yashduru illa ‘an katsratil ghabarah wa qillatil ma’rifah”. Ghabarah dalam kalam ini memiliki arti leksitas yaitu debu. Kata ini memiliki arti majas atau arti lain yaitu kebodohan. Dalam ilmu bayan, kondisi kata pada kalam ini masuk dalam kategori majaz isti’arah (majaz peminjaman) dengan ‘alaqah (kaitan) musyabahah atau kesamaan pada makna. Persamaan makna antara debu dan kebodohan adalah sama-sama menjadi satir (penutup). Sebagaimana debu menutupi benda untuk dapat terlihat, begitupula kebodohan menutupi akal untuk mengetahui kebenaran.

Kata ma’rifah memiliki arti yang sama dengan ilmu atau bisa juga berarti mengenal. Apabila merujuk kamus Ma’ani kata ini memiliki arti pengetahuan atau pengenalan. Berdasarkan pemahaman di atas, maka pepatah tersebut kira-kira dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Hujatan tidak akan muncul kecuali karena kebodohan dan kurangnya mengenal”. 

Dari kalam ini bisa dipahami bahwa hujatan muncul karena dua sebab, yaitu kebodohan dan kurang mengenal. Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang tidak mungkin menghujat orang lain yang sudah dikenal baik apalagi yang dicintainya Begitupula orang yang sudah mengetahui bahwa menghujat itu haram dan terlarang dalam agama tentu akan menjauhi perbuatan itu.

Untuk menghindari sifat menghujat yang perlu dilakukan adalah mengenal lebih dekat dengan seseorang sebelum kita menghujatnya. Karena bisa jadi kejelakan yang selama ini terpikirkan sebenarnya tidak ada. Bahkan bisa saja pada dirinya terdapat sifat yang lebih terpuji. Di samping juga perlu menambah ilmu tentang perbuatan-perbuatan yang tercela dalam agama agar dapat dijauhi dan dihilangkan.

Momen hari raya dirasa sangat tepat untuk memulai atau kembali merajut silaturrahmi di antara kita sesama muslimin. Hari raya bisa dimanfaatkan untuk meminta maaf dengan penuh kesadaran atas segala kesalahan yang pernah diperbuat. Apalagi kesalahan terhadap ulama yang tentu saja akan berkali lipat membinasakannya daripada salah terhadap manusia biasa. Semoga dengan saling memaafkan rasa kekeluargaan di antara kita dan semua muslimin tetap terjaga baik di dunia maupun di akhirat. Amin ya rabbal ‘alamin. []


Oleh: Muhammad Abrar
Mahasantri Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga, Aceh.



ORDER VIA CHAT

Produk : Ulama Tidak Boleh Sakit?

Harga :

https://www.ngajikuy.id/2020/08/ulama-tidak-boleh-sakit.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi (1)