Putri Ayah Sop Jeunieb Menikah di Bulan Safar, Bulan Pernikahan Nabi saw. dengan Khadijah al-Kubra
NGAJIKUY.ID | Tidak terasa hari ini kita di pertengahan Safar 1442 H (14
Safar1442 H). Banyak hal baik sudah dilalui walaupun banyak juga hal yang kurang
mengenakkan. Baik atau kurang
mengenakkan keadaan seseorang itu mungkin relatif ya, maksudnya kembali ke pengalaman
masing-masing orang.
Bicara bulan Safar maka sangat identik dengan nikah. Banyak
orang memilih atau dipilih oleh walinya untuk menikah di bulan ini. Moment yang
baik-baik di bulan ini dirasakan oleh mereka yang menikah karena bahagia
menemui pasangan idaman. Adapun bagi tamu setia undangan nikah, yang sudah berumur
nikah seperti saya, maka bulan ini bisa jadi “kemurungan” karena suasana hati
suka engga karuan saat hadir di resepsi nikah, saya yakin siapapun laki-laki seumuran
saya pasti merasakan hal yang sama, apalagi yang umurnya lebih tua dan belum
menikah.
Beberapa hari yang lalu saya menghadiri undangan walimah
guru di Peureulak, Aceh Timur. Beliau menikah di bulan Safar tepatnya Kamis 7 Safar 1442 H yang lalu. Sebelumnya ada
pernikahan seorang kawan yang ikut saya hadiri, juga dilakukan di bulan safar.
Dalam perjalanan kami, saya menemukan beberapa mesjid yang sedang dilangsungkan
akad pernikahan.
Kadang banyaknya undangan membuat hati dilema, antara
memenuhi atau tidak memenuhinya. Mau datang tapi anggaran tidak memungkinkan.
Tapi jika engga datang maka siap-siap waktu nikahan nanti engga ada yang mau
datang di pesta kita. Ya beda halnya kalau berhalangan atau jadwal terbentur.
Di bulan ini, saya pribadi kesusahan karena dikirim beberapa undangan nikah.
Selain undangan yang saya ceritakan sebelemnya di atas, ada juga undangan lain
yang tidak sempat saya hadiri. Seperti undangan seorang kawan di Pidie yang
terbentur dengan undangan kawan lain yang lebih dekat, sehingga tidak sempat
saya hadiri. Intinya bulan Safar memang bulan nikah.
Seperti hari ini misalnya, Jum’at, 14 Safar 1442 H / 02
September 2020 M, salah seorang ulama Aceh, Ayah Muhammad Yusuf Jeunieb juga
memilih Safar untuk menikahkan putrinya bernama Lutfiana. Bungong dalam on
sekaligus putroe ulama muda itu menikah dengan sang pujaan hati, Tengku Malik
Abdul Aziz, pelajar Zawiyah Aydrus Republik Yaman.
Dengan maraknya akad nikah di bulan Safar, terilhami bagi
saya untuk mengangkat lebih dalam masalah ini. Barangkali menjawab rasa
penasaran dari sebagian orang kenapa ya bulan Safar banyak yang nikah?
Nah, ternyata nikah di bulan Safar punya landasan yang kuat.
Bukan ijtihad ulama atau semacamnya. Menikah di bulan Safar dilakukan sendiri
oleh Nabi kita Muhammad Saw, dimana Nabi di kala itu menikah dengan Khadijah
pada bulan Safar. Yuk baca kisahnya.
Kisah Pernikahan Nabi Saw dengan Khadijah
Suatu ketika, Sayyidah Khadijah mencari seseorang yang
mampu memasarkan barang dagangannya. Saat itu dia mendengar tentang kepribadian
Muhammad Saw yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia. Khadijah
pun menanyakan kesediaan Muhammad Saw untuk menjual barang dagangannya yang
didampingi oleh pembantunya bernama Maisarah. Setelah tercapai kesepakatan
antara Khadijah dan Muhammad Saw, maka Khadijah menitipkan barang dagangan itu
kepadanya.
Muhammad Saw pun berangkat bersama Maisarah, dan Allah
Swt menjadikan perniagaannya itu menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa
gembira sekali dengan hasil tersebut. Akan tetapi, ketakjubannya pada pribadi
Muhammad Saw teramat besar dan lebih mendalam dari semuanya. Saat bersama Nabi,
Maisarah mempunyai cerita tersendiri untuk di ceritakan kepada Khadijah. Dia bercerita
mengenai perjalanan mereka ke Syria, dan juga mengenai keuntungan-keuntungan
yang telah diperoleh Muhammad Saw dalam berdagang.
Namun bagi Maysarah, yang lebih penting dari cerita
mengenai misi perdagangan itu adalah kisah mengenai watak dan kepribadian
Muhammad Saw itu sendiri. Dia sangat mengagumi bakatnya sebagai seorang
pedagang. Dia bercerita kepada Khadijah bahwa Muhammad Saw memiliki kemampuan
yang sempurna untuk menatap masa depan. Keputusan- keputusannya selalu tepat,
dan perkiraannya tidak pernah salah. Maisarah juga menyinggung masalah
kejujuran dan kesopanan Muhammad Saw.
Sejak saat itu, muncullah benih kecintaan di lubuk suci
Sayyidah Khadijah as yang belum pernah dirasakan olehnya sebelum itu. Di mata
Khadijah as, Muhammad Saw adalah istimewa. Ekspedisi perdagangan Muhammad Saw
ke Syria ternyata adalah awal menuju pernikahannya dengan Khadijah as.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Muhammad Saw sedang berjalan pulang dari
Ka'bah ketika seorang teman Khadijah as yang bernama Nafisah menghentikannya.
Tegur sapa berikut ini terjadi di antara mereka: Maka disaat dia bingung dan
gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah
temannya, bernama Nafisah binti Munab- bih, ikut duduk dan berdialog hingga
kecerdikan Naf- isah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan.
Nafisah: "Wahai Muhammad, Anda adalah seorang pemuda
dan belum menikah. Banyak laki-laki yang lebih muda dari Anda sudah menikah.
Beberapa di antaranya sudah memiliki anak. Mengapa anda tidak menikah?”
Muhammad "Aku belum mampu untuk menikah. Aku belum
mempunyai kekayaan: yang cukup untuk menikah".
Nafisah: "Apa jawaban Anda apabila seorang wanita
cantik, kaya, dan terhormat mau menikah dengan anda walau anda miskin?"
Muhammad: "Siapa wanita yang seperti itu?"
Nafisah: "Wanita seperti itu adalah Khadijah binti
Khuwailid".
Muhammad: "Khadijah? Bagaimana mungkin Khadijah mau
menikah denganku? Bukankah Anda tahu banyak pangeran kaya raya dan ke-
pala-kepala suku di Arab ini yang melamarnya, dan dia telah menolak mereka semua?".
Nafisah: "Bila Anda mau menikah dengannya katakan
saja, dan serahkan semuanya padaku. Aku akan mengurus semuanya".
Muhammad Saw bermaksud memberitahukan pembicaraannya
dengan Nafisah kepada Abu Thalib yang merupakan paman dan pelindungnya. Abu Thalib
sangat mengenal Khadijah as seperti mengenal keponakannya itu.
la menyambut tawaran Nafisah dengan baik. Ia sangat yakin
kalau Muhammad Saw dan Khadijah akan menjadi pasangan yang ideal. Begitu Abu
Thalib merestui pasangan itu, ia mengutus adik perempuannya, Shafiyyah untuk
mengunjungi Khadijah as dan membicarakan perkawinan. Tak lama setelah itu,
keduanya segera menikah dengan upacara dan acara yang indah dan menakjubkan.
Setelah menikah, Khadijah tak tertarik lagi kepada
perdagangan serta kesuksesan di bidang itu. Pernikahan telah mengubah sifatnya.
Dia telah mendapatkan Muhammad Al-Musthafa sebagai kekayaan yang tak ternilai
harganya. Pernikahan telah membuka lembaran baru dalam kehidupan Muhammad Saw
dan Khadijah as. Inti lembaran ini adalah kebahagiaan yang paling suci. Selain
diberkahi kebahagiaan, perkawinan mereka pun dikaruniai anak-anak. Anak pertama
mereka adalah seorang bayi laki-laki yang bernama Qasim. Setelah kelahiran
Qasim itulah sang ayah, Muhammad Saw di panggil Abul Qasim yang berarti Ayahnya
Qasim seperti kebiasaan di Arab.[1]
Alasan lain yang memantapkan Khadijah menikah
dengan Nabi adalah setelah mendengar cerita Maisarah. Dalam perjalanan menuju Syam,
Rasulullah berteduh di bawah satu pohon dekat Shauma’ah (tempat
pertapaan pendeta). Seorang pendeta keluar mendekati Maisarah lalu berbisik:
من هذا الرجل الذى نزل تحت تحت هذه الشجرة؟
“Siapa lelaki yang berteduh di
bawah pohon itu?”
Maisarah menjawab:
هذا الرجل من قريش من أهل الحرم
“Lelaki ini dari Quraisy, dia
datang dari tanah haram (Mekkah).
Pendeta itu lalu berkata:
ما نزل تحت هذه الشجرة قط إلا نبي
“Tidak ada seorang pun berteduh di bawah pohon ini
kecuali (menandakan) bahwa dia seorang nabi”.
Maisarah kemudian menceritakan hal ini kepada Khadijah.
Ketika mendengar kisah ini dari Maisarah, Khadijah bergetar hatinya. Setelah
mengenal Muhammad dengan pribadi yang baik, ditambah lagi oleh kabar tentang
kerasulan dirinya. Khadijah semakin
terpikat hatinya kepada Nabi. Cinta semakin tumbuh dalam hati Khadijah. Tatkala
merasa tidak sanggup lagi membendung perasaan hatinya, Khadijah lantas
mengirimkan surat kepada Nabi dengan maksud menawarkan diri menjadi baginda.
إني
قد رغبت فيك لقرابتك مني، وشرفك في قومك، وأمانتك عندهم، وحسن خلقك، وصدق
حديثك". ثم عرضت عليه نفسها"[2]
“Aku sungguh kagum terhadapmu karena
persaudaraan kita, kemulianmu di tengah kaummu, sifatmu yang amanah, kebaikan
akhlakmu dan kesopananmu dalam bertutur kata”.
Khadijah kemudian menawarkan dirinya dipersunting oleh Nabi”.
Al-Qurtubhi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pernikahan
ini menjadi kabar gembira bagi banyak orang sekaligus menjadi kebanggaan bagi
kerabat Khadijah. Salah seorang kerabat Khadijah bernama Abu Sufyan bin Harb
bin Umayyah berkata setelah mendengan berita pernikahan Khadijah dengan
Muhammad Saw:
هذا الفحل لا يُقدَع
أنفه
“Ini adalah unta jantan yang tidak dihinakan hidungnya”.
Al-Qurthubi kemudian menafsirkan maksud dari perkataan
tersebut dengan berkata:
يقدع " بالدال
غير المعجمة ; يقال : هذا فحل لا يقدع أنفه; أي لا يضرب أنفه . وذلك إذا كان كريما [3]
“Kata yuqdahu dibaca tanpa titik (dal). Dikatakan
orang: “Unta ini tidak dihina hidungnya”, artinya tidak ditandai hidungnya
dengan dilukai. Sifat ini oleh unta yang punya sifat/keturunan yang mulia dan
dimuliakan (karim)”.
Maksud unta dengan sifat “karim” adalah unta
berketurunan baik. Unta ini tidak dilukai hidungnya dan diberi kebebasan oleh
pemiliknya untuk mendekati unta betina manapun untuk melanjutkan keturunannya.
Para pemilik unta juga senang jika unta betinanya memiliki keturunan dari unta
ini. Sebaliknya, unta yang berasal dari keturunan yang tidak baik akan dilukai
hidungnya sebagai tanda. Ia dijauhkan dari unta betina agar tidak melahirkan
keturunan yang tidak baik juga nantinya.
Menikah di Bulan Safar
Rasulullah Saw menikah dengan Khadijah 15 tahun sebelum
menerima wahyu sekaligus 15 tahun selisih umurnya dengan umur Khadijah. Dimana
Nabi Saw pada saat itu berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Keduanya
dinikahkan oleh Amr bin Asad yang tidak lain adalah paman Khadijah pada bulan Safar tahun
595 Masehi. Tidak diketahui secara pasti hari dan tanggal berlangsungnya
resepsi itu. Adapun ayah Khadijah bernama Khuwailid bin Asad pada saat itu
sudah meninggal.
Terkait pernikahan pada bulan Safar ini ditunjukkan oleh
syair yang disusun oleh Habib Abu Bakar al-‘Adni. Yaitu dalam kitabnya bernama Mandzumah
Syarh al-Atsar fî mâ Warada ‘an Syahr Safar tepatnya dalam bab “Mukhalafah
al-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Alihi Sallam al-Jahiliyyah fi ‘Adatihim (penentangan
Nabi Saw terhadap adat Jahiliyyah)” pada bait 1-4 beliau berkata:
نَفَى رَسُوْلُ اللهِ كُلَّ عَادَةٍ # سَيِّئَةٍ مِمَّا مَضَى وَمَا
انْتَشَرْ
وَخَالَفَ الْكُفَارَ فِيْمَا اعْتَقَدُوا# وَجَدَّدَ الْإِيْمَانَ بِالمْوْلَى الَأَبَرْ
مُبْتَدِئًا
زَوَاجَهُ مِنْ أُمِّنَا # خَدِيْجَةَ الْكُبْرَى بِأَيَّامِ صَفَرْ
وَكَانَ هَذَا
قَبْلَ وَحْيِ رَبِّنَا # لمِاَ
لَهُ مِنْ فِطْرَةٍ طَابَتْ أَثَرْ. [4]
Rasulullah Saw menafikan seluruh kebiasaan yang
buruk/jelek yang pernah terjadi sebelumnya dan menyebar
Beliau menentang keyakinan kaum kafir serta memperbarui
iman kepada Allah Swt yang Maha memberi anugerah
Dimulai dengan menikahkan ibu kita, Sayyidah Khadijah al-Kubra
di hari-hari bulan Safar
Pernikahan itu berlangsung sebelum datang wahyu dari
Allah, satu masa (yang dilalui) dengan sejarah yang suci bagi Nabi.
Pada bait di atas, Abu Bakar al-‘Adni menyebutkan satu di
atara beberapa perkara yang di-mukhalafah (ditolak/ditentang) oleh Nabi
terhadap kaum Jahiliyah. Pada bait yang ketiga dilihat bahwa perkara itu adalah
pernikahan yang dilangsungkan oleh Nabi Saw pada bulan Safar. Dapat dipahami
bahwa dalam adat Jahiliyyah mengganggap Safar sebagai bulan tidak baik untuk
menikah atau penyebab sial. Maka oleh Nabi Saw mengubah stigma itu melalui
perbuatannya.
Nah gimana bagi kalian yang udah baca kisah Nabi Saw
dengan Khadijah al-Kubra di atas. Jadi udah tau dong kenapa orang-orang memilih
nikah di bulan Safar dan bulan ini diyakini sebagai bulan yang baik untuk
menikah? Semoga bermanfaat bagi kamu yang udah pengen masuk dalam resepsi nikah
tapi belum bisa tentuin tanggal yang pas. Yaudah pilih bulan Safar aja mumpung
sisa setengah bulan lagi.
Tapi bagi kita kaula jomblo, engga usah pesimis juga,
karena masih ada Safar-Safar selanjutnya ya kan?. Yang penting kencangkan
semangat dalam do’a dan usaha agar status jomblo segera terganti. Semangat
kerja dan cari rezeki halal, bukan malah halu engga jelas mikirin masa depan.
Oya satu lagi yang paling penting jangan sibuk dengan game, apalagi yang lagi
marak-marak sekarang game poker sama beli chips. Karena game itu engga akan buat
kalian kaya, justru akan dibuat miskin gara-garanya. Lagipula secara fikih game
itu judi dan hukumnya haram. Ulama-ulama kita juga sudah mewanti-wanti masalah
game itu? Jadi karenanya tinggalkan sekarang juga.
Kalo sekarang masih disibukkan oleh game, jadi kapan mau
nikah? Tau engga? kebutuhan sebelum dan sesudah nikah itu banyak dan engga akan
tercukupi dengan game. Bagi yang udah berhajat nikah, fokus diri kalian untuk
kerja dan cari uang aja. Jangan fokus ke yang lain.
Tapi ini bukan untuk semua orang, tapi cuman bagi yang
udah hajat aja. Bagi kalian yang belum hajat ya engga apa-apa, itu lebih baik
malah. Fokus belajar dulu sampai alim. Karena nikah ada waktunya sendiri. Ada
quotes nih bagi yang lagi fokus belajar. Quotes-nya gini “cari ilmu sampai
diminta jadi menantu”. Jadi fokus belajar gausah mikirin nikah dulu.
[1]Dikutip dari
buku 16 Tokoh Sahabat Nabi Saw karya Abdullah Harry, ( h. 6-11, dengan sedikit
penambahan.
[2]Al-Jazari, Izzuddin bin Atsir, Asad
al-Ghabah Fi Ma’rifah al-Shahabah, Jld. 7, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994), h. 82.
[3]Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, al-Jami’
Li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Liam Tadhammanahu Min al-Sunnah wa Ayi
al-Qur’an, Jld. 20, (Beirut: al-Risalah, 2006), h. 407.
[4]Habib Abu Bakar al-‘Adni, Mandzumah Syarh
al-Atsar fî mâ Warada ‘an Syahri Safar, h. 9.
Diskusi