Membaca dan Jemawa






NGAJIKUY.ID | Membaca adalah ruang improve. Sebuah aktivitas di mana otak pembaca akan dibawa hanyut dalam rentetan diksi penuh makna. Dengan melakoni aktivitas ini, seseorang dipantik untuk terus mengamati, memikirkan dan menyimpulkan apa yang tengah dilahapnya.

Bayangkan! Imam Al-Ghazali, Mahatma Ghandi, Albert Einstein, mereka hadir dalam setumpuk peninggalannya. Jawahir Al-Qur’an, All Men Are Brothers, The World As I See It semua itu telah memuat sejuta pengetahuan terkait tokoh-tokohnya untuk diteladani lewat ilmu berguna demi keberlangsungan hidup umat manusia. Mereka bersemayam dalam karya-karyanya dan menunggu kita mengeksplorasi buah pikiran mereka.

Itulah harta karun sesungguhnya. Ilmu yang bertebaran di berbagai perpustakaan yang melirik kita untuk segera memungutnya. Abbas Mahmud al-Aqqad (1889-1964), seorang sastrawan Mesir pernah menuliskan bahwa setiap orang memiliki satu ide dan imajinasi. Ide dan imajinasi tanpa perpaduan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Namun kala satu ide bertemu ide lain, saat satu imajinasi berkolaborasi dengan imajinasi lain, tentulah membuahkan sebuah paradigma dan hasil baru yang kemudian melahirkan real action yang tepat pula.

Selayak demikianlah jika manusia membaca. Lihat! Makan hanya akan mengisi satu rongga perut, berpakaian hanya menutupi satu tubuh, dan berjalan cuma membawa seseorang ke satu tempat tanpa bisa hadir ke tempat lain. Semuanya hanya satu. Tetapi membaca membuat manusia memiliki banyak ide, mengantongi pandangan orang lain, dapat berada di masa lalu dan memperkirakan masa depan. Melalui bacaan, seseorang seolah mempunyai lebih dari satu kehidupan dan kacamata analisa. Sungguh menakjubkan.

Kendati demikian, membaca bukanlah satu-satunya sarana untuk memperoleh pengetahuan dan mengolahnya menjadi ilmu yang berguna. Di sana masih sangat banyak metode lain yang mungkin sekali untuk ditempuh dalam agenda mendapat ilmu baru. Katakanlah peka terhadap lingkungan.

Namun perlu ditandai, membaca jauh lebih ekstrim dari sekadar apa yang dibayangkan orang banyak. Persis seperti paragraf awal di atas, membaca butuh analisis tepat sasaran saat menyimpulkan apa yang dibaca. Ibarat makan, sebelum melumat habis porsinya, seseorang mestilah paham apa yang hendak ia makan, untuk apa ia mengonsumsi makanan itu dan apa khasiat makanan terhadap kesehatan fisik dan mentalnya. Pun demikian dunia membaca, pembaca berkeharusan memiliki kekuatan kognitif yang memadai agar lebih dari sekadar paham terhadap rangkaian kata.

Di luar sana, tak sedikit orang yang gemar membudayakan membaca dalam kesehariannya. Mereka sadar dan tau bahwa membaca adalah sebuah filosofi terbaik dalam mendayagunakan akal pikiran dan melestarikan keagungan ilmu. Bahkan dalam Islam sendiri, firman pertama yang diterima Rasulullah adalah iqra’ (bacalah), sebab melaluinyalah sebuah ilmu akan terlihat muara dan hulunya untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Tetapi ironi, andai kita melihat peringkat minat baca Indonesia di kancah dunia. UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat terbawah kedua dengan 0,001 minat baca. Itu artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang berstatus rajin membaca. Fenomena demikian bukanlah sebuah prestasi, melainkan tamparan keras bagi sebuah negara berkembang di Asia Tenggara yang mendambakan kemajuan namun krisis budaya berkemajuan.

Dewasa ini, malas membaca di kalangan kita perlahan mulai tampak efek negatifnya. Dibarengi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, di mana informasi dan komunikasi semudah memencet tombol, hoax dan debat kolom komentar seolah tak terelakkan lagi. Model semacam ini rumusnya sangat simpel, hanya bermodal sharing info, foto, video, dan lain sebagainya, namun pengirim bahkan tidak melihat, mengevaluasi, menyimpulkan dan lebih parah merasa abai dengan apa yang sedang ia bagikan. 

Di sisi lain, sang penerima informasi tak juga jauh berbeda. Apapun yang masuk ke “bar” notifikasi, seolah tampak valid semuanya dan dirasa begitu layak dijadikan acuan dalam berargumen di ruang publik. Hal semacam ini paling berbahaya. Bagaimana tidak? Banyak orang yang enggan membaca dan mencari tahu, namun di satu sisi begitu terobsesi melahap info prematur. Miris sekali. 

Sekarang sudah saatnya untuk meninggalkan budaya buruk itu. Sebab bukannya kita tidak akan maju, namun kita sendiri yang mengusir kemajuan itu.

Lebih dalam soal membaca, dengan menghanyutkan diri dalam bacaan, sesorang tidaklah jumawa setelah mencerna apa yang ia santap. Figur seorang pembaca adalah sosok penuh kebijaksanaan karena ia sadar betapa sedikitnya hal yang ia ketahui. Dalam benaknya tertanam bahwa dunia begitu luas untuk dijelajahi dan usia begitu pendek untuk melihat semua keagungan semesta.
 
Maka dari titik itulah, pembaca yang baik akan berbanding paralel seiring bertambahnya bahan yang ia baca. Dalam setiap baris yang dijumpai, ia menemukan jajaran hal baru, indah, langka, yang kemudian memperluas wawasan dan rasa tawadhuknya. Tidaklah seseorang dikatakan pembaca yang baik, atau bahkan pembaca biasa, jika sikap jumawa senantiasa hinggap dalam diri kita. Sikap buta, egois dan dungu yang sangat jauh dari substansi kebijaksanaan.

Akhir kata, marilah kita berdamai dengan diri sendiri. Melihat kambali kilas balik kehidupan hari ini dan bergumam dalam hati, “apakah saya perlu membaca?."


Oleh: Akram Alfarasyi 
Penulis adalah santri Dayah Ummul Ayman Samalanga dan mahasiswa di STIS Ummul Ayman Pidie Jaya - Aceh


Diskusi