Memahami Perbedaan Kaidah Ushul Fikih dan Kaidah Fikih

 



NGAJIKUY.ID - Pembahasan seputar kaidah selalu menarik perhatian pelajar, bil khusus santri. Bukti kaidah amat digemari, ketika seorang guru menyebut sebuah kaidah, nampak antusiasme para santri mencatat kaidah tersebut di buku catatan atau pada bagian kosong di kitab mereka, ada yang menulis untuk kemudian dihafal, ada juga yang menulis tapi tidak dihafal.

Pada fan ilmu tertentu, kaidah sengaja diciptakan guna mempermudah dalam mengingat fragmen dalam ilmu tersebut. Keberadaan kaidah menjadi rumus yang mendeteksi sekaligus mengikat fragmen itu, yang sejatinya amat banyak. Menurut amatan saya, kaedah yang intens dibincangkan sesama santri adalah kaidah nahwu, fikih, ushul fikih dan mantiq. 

Kegemaran mereka dalam mempelajari kaidah pada beberapa ilmu ini lebih dominan ketimbang menghafal fragmen-fragmen yang dibahas di dalamnya, karena metode ini lebih mudah lagipula menghemat waktu.

Menurut amatan saya lagi, juga berdasarkan pengalaman bersama pelajar di sekitar saya, mereka tidak memilki kesulitan dalam mengenal kaidah mantiq dan nahwu, tetapi banyak di antara mereka belum mengenal betul dan membedakan kaidah fikih dengan kaidah ushul fikih. 

Kesulitan ini sebenarnya juga saya rasakan pada awal-awal belajar kedua ilmu ini, hingga kerap keliru dalam menggolongkan dan aplikasi kaidah. Kala itu bagi saya, kesulitan ini akibat minimnya pemahaman tentang mabadi (prinsip dasar) dua ilmu ini atau barangkali belum menemukan uraian khusus yang membahas perbedaan antar keduanya.

Namun belakangan, saya menemukan uraian yang lama dicari. Bak gayung bersambut, uraian lengkap membahas perbedaan itu saya temukan pada sebuah kitab yang baru saja saya kenal dan pelajari, yaitu kitab“al-Qawa’id al-Fiqhiyyah; Mafhumuha, Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasah Muallafatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Thathbiquha” karya Syekh Ali Ahmad al-Nadwi, yakni satu kitab yang menjadi rujukan kami pada mata kuliah Qaidah Fiqihiyyah di Marhalah Tsaniah yang diasuh oleh Alkiram Abi MUDI. Melalui karya monumental ini, Syaikh Ali menyingkap perbedaan kaidah ushul fikih dan kaidah fikih dengan ulasan yang amat menarik.

Katanya, kaidah fikih dan kaidah ushul fikih memang sama pada satu sisi, yaitu sama-sama berupa qadhiyyah kulliyah (narasi umum) yang di bawahnya terdapat fragmen yang banyak. Namun, perlu digaris bawahi bahwa jika disorot lebih spesifik, kedua istilah ini memiliki perbedaan asimetris yang amat signifikan. 

Ada lima perbedaan kaidah fikih dan kaidah ushul fikih menurut beliau dalam karya monumentalnya ini. Mari mencermati kelima perbedaan tersebut!

Pertama, kaidah ushul fikih berperan untuk mengistinbathkan hukum dari dalil yang terperinci dan objek pembahasanya selalu dalil tafsili dan hukum. Contoh kaidah ini: Amar mengindikasikan wajib, nahi bagi larangan, dan kewajiban yang dikhiyarkan (diberi kebebasan untuk memilih) adalah kewajiban yang dianggap selesai bila melakukan salah satu kebaikan yang dikhiyarkan.

Adapun kaidah fikih merupakan ketentuan kulliyah (umum) atau aktsariyah (mayoritas) yang juziyyah (bagian-bagian)nya merupakan sebagian persoalan fikih, dan objeknya selalu berupa perbuatan mukallaf. Intinya perbedaan pertama yang cukup signifikan antara kaidah fikih dan ushul fikih adalah objek pembahasannya.

Kedua, kaidah ushul fikih adalah kaidah umum (general) yang berlaku pada semua fragmen dan objeknya.  Adapun kaidah fikih hanya mencakup beberapa hukum yang didasarkan pada beberapa hal khusus, dan memiliki pengecualian atau dengan bahasa lain tidak berlaku pada semua furu’ (cabangan)nya. Kaidah ushul fikih berlaku secara kulliyyah (universal) sedangkan kaidah fikih berlaku aktsariyah atau aglabiyah (dominan). Kaidah ushul fikih tidak mempunyai pengecualian, sedangkan kaidah fikih memiliki pengecualian yang banyak.

Ketiga, kaidah ushul fikih merupakan rumus yang dapat dipakai untuk menggali dan menyimpulkan hukum-hukum yang bersifat amaliyah (praktis), sedangkan kaidah fikih merupakan pengikat bagi hukum-hukum yang dihasilkan oleh kaidah ushul fikih tadi. Kaidah fikih hanya bertujuan mengikat masalah-masalah fikih dan mayoritas ulama menyebut bahwa . Untuk gambaran yang lebih dekat, kaidah fikih dapat kita tamsilkan layaknya karet yang dipakai untuk mengikat lidi-lidi, sedangkan kaidah ushul fikih adalah pohon kelapa yang menghasilkan lidi-lidi itu.

Keempat, kaidah fikih dalam keberadaan baik secara zihni maupun waqi’ lahir lebih telat dibanding fragmen fikih, musabab kaidah fikih diciptakan untuk mengikat dan mengumpulkan fragmen-fragmen fikih yang sudah ada, bukan untuk memproduk hukum. Adapun kaidah ushul tercipta lebih awal dari fragmen-fragmen itu. Karena kaidah ushul adalah pola untuk menggali dan menemukan sebuah hukum sebagai fragmen fikih. Bandingan kaidah ushul dengan hukum fikih layaknya orang tua dan anak, pohon dan buah, atau benih dan tanaman.

Kelima, Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa satu sisi kaidah ushul fikih memiliki persamaan dengan kaidah fikih. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawah cakupannya. Sedangkan perbedaannya, kaidah ushul fikih adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menemukan hukum. Sedangkan kaidah fikih merupakan kumpulan sejumlah hukum-hukum fikih. (Ali Ahmad al-Nadwi,  Al-Qawa’id al-Fiqhi yyah; Mafhumuha, Nasyatuha, Tathaw wuruha, Dirasah Muallafatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Thathbiquha, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), hlm. 68-69).

Kelima perbedaan itu dapat ditemukan jika membandingkan dua kaidah ushul fikih dan kaidah fikih, kemudian menelaah secara seksama maka akan ditemukan perbedaan-perbedaan di atas. Ambil saja dua contoh kaidah yang mudah dan lumrah ditemukan pada kedua fan ilmu ini. Misalnya pada kaidah ushul fikih ada; al-amar fi al-haqiqat li al-wujub, pada kaidah fikih ada; al-umur bi maqashidiha.

Kaidah al-amr fi al-hakikat li al-wujub dipakai pada objek dalil tafsili dan hukum. Kaidah ini dapat dipakai secara general pada semua dalil tafsili yang berarti amar hakikat (tanpa ada indikasi lain) selalu menghasilkan hukum wajib tanpa pengecualian. Kaidah ini juga lahir lebih awal daripada hukum kewajiban shalat sebagai fragmen fikih dan dapat diapakai untuk menggali hukum seperti melahirkan kewajiban shalat melalui dalil aqimu al-shalah (hanya sebagai contoh).

Adapun kaidah al-umur bi maqashidiha dipakai pada objek pada perbuatan mukallaf yaitu shalat. Kaidah ini, tidak berlaku general karena banyak pegecualian, lahir lebih telat dari hukum dan tidak menghasilkan hukum tetapi hanya berfungsi sebagai pengikat hukum Wallahu a’lam bi shawab.


Penulis: Muhammad Abrar


Diskusi